Selasa, 19 Agustus 2014

"Prahara di Atas Nisan Ibu" Part 2

Cerpen : "Prahara di Atas Nisan Ibu" Part 2

“Sengaja aku datang ke kuburan ini untuk menemuimu.”. “Mungkin besok pagi aku ini tidak bisa lagi melihat kebaikanmu,kejujuranmu dan semangatmu yang tinggi dalam membela harga diri,agama bangsa dan Negara. ”
.”Sekarang aku membawakan nasi dan singkong rebus kesukaanmu.”Makanlah agar kamu kuat. melawan musuh”,musuh mu, musuh kita semua”.
“Pesanku .” “Jangan tengok ke belakang, kami juga bisa menjaga diri”. “Jangan bimbang dan jangan ragu ayah, karena entah besok atau lusa pasti tumbuh pahlawan-pahlawan kecil yang akan mengikuti jejak ayah,.bahkan mewariskan keberanian ayah,hingga anak-anak dan cucu-cucumu bisa hidup aman di negeri yang kaya ini,tanpa ada lagi penindasan dan kekejaman seperti saat ini.” Tambah ku.”.Ayah terperangah melihat kemunculanku di kuburan pada malam hari itu.
Ayah menatap wajah ku dengan tatapan haru. Ternyata anak yang ku anggap lugu dan pendiam selama ini bisa berbicara seperti orang bijak kebanyakan, katanya.”
Lama dia menatap wajah ku. Dengan tatapan kosong dia menatap ku yang masih berumur sekitar delapan tahun itu”.Pandangannya melayang jauh….jauh sekali.
Wajah polos itu nampak mewaranai dinding dinding kehidupan di antara hati orang yang sangat mencintainya.”cetus pak H.Faturrahman”. “Aku senang anakku,aku cukup bahagia ketika engkau datang di saat-saat terakhir ini.”Aku dipeluk dan diciumnya dengan mesrah.”. “ Aku akan bahagia lagi anakku bila engkau bisa menghirup udara kebebasan di atas tanahmu yang makmur ini.” Dipandangnya puncak bukit yang jauh di barat diteduhi kilatan halilintar, samar-samar terlihat nampak seperti saksi yang menorehkan sejarah buat dirinya. Dia menangis dan memeluk ku”.
“Ayah, jangan menangis!”
“Iya nak”,nanti hati ayah menjadi bimbang”
.”Tidak anakku,itu tidak!.
“Yang ku pikirkan jika aku tiada nanti,apakah engkau dan cucuku akan diperhatikan oleh Negara kita ini?, atau malah sebaliknya.” “Aku dikatakan pembangkang dan pembunuh sehigga kamu pun dikatakan anak pembunuh”.” Aku diam menatap wajah ayahku”.
“Anakku,” Aku merasakan suatu saat nanti orang-orang akan membalikkan sejarah dan menghianatimu, bahkan tidak berlaku adil kepadamu”.
Lantas ku katakan,” “Ayah…. berdasarkan cerita pak Haji Faturrahman ini, bahwa para pahlawan yang gugur, tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi termasuk buat anak dan keturunannya”. ”Mereka tidak pernah mengharapkan apa –apa dari negaranya.” Begitu pula para suhada pada perang Badar dan perang lainnya, tidak pernah mengharapkan pamrih dan sebutan apa-apa.” “Umar”, betul kata anakmu itu”. Tambah H.Faturrahman.
“Mereka rela mengorbankan jiwa raga untuk kejayaan bangsa dan agama,lain tidak”
.Sejenak ayah terdiam menatap ku,lalu berkata dengan suara lemah lembut bagai dalam keadaan tenang.
“Ismail?”. “Jika engkau besar nanti, kamu harus menjadi orang baik yang berguna bagi orang lain.” “Insya Allah, ayah!”.
“Di dunia ini tiada yang lebih berharga selain dari harga diri”
“Aku sendiri sangat menyayangkan pamanmu yang menjadi kaki tangan kompeni di tanah kita”.”Pamanmu rela menjual martabat bangsa,bersikap kejam pada masyarakat tanpa menghiraukan lagi nurani kemanusiaan demi uang dan ambisi pribadinya”,.” Sungguh keterlaluan!”.
“Ayah?,” kalau begitu, apakah tidak mungkin paman yang telah menjadi pejabat kepercayaan kompeni itu akan menghianati ayah?.” “Itu bisa saja terjadi anakku..
Tiga hari lalu dia menindas rakyat jelata.Mereka menghukum rakyat karena upetinya belum mampu dilunasi. Pada hal mereka sudah tahu bahwa hasil panen padi dan palawija tahun ini kurang, lantaran kompeni menyuruh masyarakat menanam kacang hijau di ladang bukan di sawah.”
“Pamanmu lebih sadis dan kejam ketika memegang jabatan punggawa itu, malah terkadang kekejamannya melebihi kejamnya serdadu Belanda”.Belanda hitam memang kejam,nak!”.
‘Ayah !” “ sebentar lagi serdadu Belanda akan datang ketempat ini untuk menangkap ayah”.
“Apa yang harus kita kerjakan sekarang” “Jangan khawatir anakku, kuburan ini bukan seperti kuburan di kota yang ditata rapi dan bersih.” ‘Tempat ini masih asli, mirip hutan belantara banyak pohon dan belukarnya. “Ini cukup dijadikan tempat kucing-kucingan dengan mereka.”
“Semua perangkap sudah terpasang”.”Pohon-pohon besar ini dapat dijadikan benteng dan tameng dari serangan musuh di samping lubang persembunyian .”.
Deru suara mobil serdadu Belanda dari kadipaten Bima mengiang dalam telinganya. Tampak dari jauh terangnya alam di seputar lembah gunung Kabuju itu, karena disinari cahaya lampu dua mobil patroli kompeni. Kami saling berpelukan. Aku menangis dalam pelukan ayah.. Diambilnya sejumput tanah di atas pusara ibunya kemudian dioleskan keseluruh tubuhnya.Dia tersungkur sujud mohon ampun kepada tuhan atas dosa-dosa masa silam.
Dipandangnya kearah selatan terlihat masyarakat sekitar lari berhamburan karena mendengar suara tembakan, layaknya perang besar. Serdadu –serdadu menembakan senapannya..
Ismail anakku!”, katanya”sampaikan pesan ini kepada ibumu”. “Jika kelak aku tewas, kuburkan aku di samping ibuku.” “Di saamping kuburan nenekmu .,anakku!”.
“Kau harus patuh kepada perintah ibu,ya?”. Iya,ayah!”. jawabku“ Ayah melanjutkan kata-katanya dengan lirik yang indah”. “Ibumu yang telah melahirkan mu pada subuh bertaburan bintang pada musim dingin delapan tahun lalu, sangat sayang kepadamu”.”Dia sangat sabar menghadapi cobaan hidup dan taat kepada perintah agama”.”Ibumu penyabar seperti eyangmu H.Faturrahman”.
“Ketika engkau menangis ,dengan penuh kesabaran ibumu memeluk dan mencium dirimu melebihi segala-galanya “.”Aku tetap menangis dalam pelukan ayah dan pelan-pelan aku menciumnya”.
Sekitar satu kilo meter di arah selatan, serdadu –serdadu kompeni melepaskan tembakan. Ayah menyusup dan mengawasi gerakan musuh di sana, lalu kembali pada posisi semula.Dia sudah bisa memperhitungkan kekuatan musuh. Katanya musuh sekitar dua puluh orang. .
Seketika suara-suara tembakan itu redam, entah karena apa.Aku mencari tahu apa yang terjadi di bagian selatan,lalu kulaporkan kepada ayahku..”Ayah di sealatan terjadi kekacauan, karena serdadu kompeni menembak masyarakat, sementara ada beberapa orang masyarakat yang mengamuk”.”salah seorang serdadu dibunuh dan mayatnya sedang disembunyikan, juga dua orang serdadu lainnya tewas karena ditembak” entah siapa yang menembaknya.”Bagus, terima kasih atas laporanmu pahlawan kecil”.”Kata ayahku”
Pada detik-detik yang menegangakan itu ayah menceritakan semua hal yang sebenarnya terjadi padaku.Kami duduk menghadap kearah selatan sepertinya tidak terjadi apa-apa
.”Ismail saat ini saya yang menjadi satu-satunya musuh kompeni di tanah kita ini.”
“Pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan perintah yang sama sekali tidak masuk akal,saya membantahnya dan melarang masayarakat sekitar untuk tidak menaatinya”.
“Perintah apa ayah?”.”Mereka mengharuskan kepada seluruh masyarakat untuk tidak menanam padi di sawah, pada hal tanah sawah itu luas sekali dan subur, air yang banyak mengalir begitu saja..Masyarakat disuruh meninggalkan kampung untuk menanam padi dan palawija di gunung”. Gunung harus digundulkan, sedangkan gunung itu sumber mata air atau sumber kehidupan masyarakat..Kemudian pembayaran pajak dan upeti dinaikan menjadi tiga kali lipat,padahal penghasilan petani belum ada.”
Ayah melanjutkan ceritanya” “Karena saya melarang masyarakat setempat, maka saya difitnah,ditangkap,disiksa di depan orang banyak dan saya disuruh makan rumput bekas injakan kaki mereka layaknya seekor binatang.” Aku malu, aku sangat malu anakku!”. “ Aku dimasukan dalam sel dengan tuduhan pembangkang dan penghianat pemerintah kolonial”.
“Aku membunuh penjaga pintu tahanan tanpa di ketahui seorang pun “.”Aku langsung kerumah pejabat kejam yang mempermalukan aku di depan umum itu.” “Aku membunuhnya”. “Ismail, bagaimana pendapatmu tentang itu?”. “Apakah kamu setuju dengan tindakan ayah itu?”.”Kata ayah”.
Aku diam membisu tidak mampu menjawab pertanyaan ayah.Aku hanya melihat ke arah selatan terus dan berdiri di sebelah barat ayah.
Letusan senapan di bagian selatan mulai mewarnai suasana perang sekitar kuburan itu.Serdadu kompeni mulai mendekati tempat persembunyian kami.Masyarakat hanya bisa menyaksikan dari jarak yang agak jauh dan tidak berani memberikan perlawanan. Ayah yang sudah menguasai medan dengan mudah bermain kucing-kucingan dengan musuh.Dengan pandangannya yang awas dan tajam dia mampu melihat musuh-musuh yang menggunakan senter kecil itu.
Hujan lebat menambah suasana menggelora dalam perang itu.Gerakan –gerakan penyerangan yang dilakukan ayahku cukup gesit, membuat musuh kelabakan.Dia menyerang musuh-musuhnya bagai serangan harimau kelaparan.Tubuhnya ringan bagai rajawali raksasa yang siap mencakar musuh-musuhnya.Satu persatu musuh-musuhnya dipanah dan ditombaki dari belakang, kemudian bersembunyi.
Melihat keadaan yang demikian komandan pasukan menyerukan maju dan berpencar kepada anak buahnya.Hal yang demikian semakin menambah banyak korban di pihak kompeni.Komandan kompeni kehilangan akal melihat prajuritnya terkapar satu persatu di semak = belukar. Serang…….serang…. perintah komandan,maka personel yang tinggal sekitar tujuh orang itu menembaki pohon dan belukar secara membabai buta tanpa sasaran yang tepat, sehingga mengakibatkan mereka kehabisan peluru.Ayah tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emasnya itu .Dicincangnya musuh-musuhnya yang kocar kacir itu satu persatu..
Komandan kompeni itu berdiri terpekur, tidak bisa berbuat banyak Gerangan apa yang sedang dipikirkan. Dia memanggil ayah”, “Umar…….Umar ,“namun tidak ada jawaban.Pada hal ayah ada di sekitarnya .
Dia melihat komandan itu tapi belum mau membunuhnya.Dipanggilnya ayah lagi, “Umar!.. Umar…..,dia menawarkan kepada ayah .”Jika kamu mau jabatan maka akan kuberikan jabatan itu.” “Jika kamu mau istri akan kuberikan gadis tercantik yang belum pernah kau lihat.”Jika kamu mau uang tinggal disebutkan berapa banyaknya”.Serahkan dirimu sekarang juga supaya engakau bisa kuhadapkan pada atasanku di kabupaten untuk menerima hadiah itu.”Ayah yang sudah tahu kelicikan Belanda tidak mau menggubris tawaran itu, juga tidak tertarik dengan semua kebohongan itu, malah semakin dia marah. “Umar!”. Umar…..dengan sigap ayah melayangkan tombak trisulanya tepat mengenai perut komandan kompeni itu.Komandan kompeni terkapar bersimbah darah.
Ayah tahu bahwa keadaan sudah aman Dia menapakkan kaki mendekati nisan ibunya yang paling utara.Dipeluknya batu nisan itu kemudian menciumnya penuh haru. Sang komandan yang masih memiliki sebutir peluru itu dengan sedikit kekuatannya menembak ayahku,tepat mengenai pahanya kirinya. Aneh sekali, ayahku tidak pernah merintih kesakitan.Dia menyobekkan sarungnya untuk mengikat bekas peluru, di pahanya itu. Dia berbaring memandangku dan mengatakan.”Kibarkan sepotong sarung tuaku ini di ranting pohon beringin itu agar aku bisa tersenyum hari ini.”
Dengan hati yang berbunga-bunga, ayahku yang berbaring itu tersenyum puas menyaksikan sepotong sarung tua miliknya itu berkibar di ranting beringin itu.
.Itu bagai merah putih yang berkibar pada hari ini di tiang bendera pada kantor desa itu,kantor mu itu nak polisi.”.”Pak tua, menarik sekali ceritanya.”. “Dia pahlawan sejati.” ‘Buat ayahku itu tidak penting, yang penting dia memperjuangkan kehormatan,harga diri bangsa dan keadilan di negeri tercinta ini.”Mungkin sama dengan keinginan kami yang ingin memperjuangkan keadilan di desa itu” ”Pak tua, besok upacara tujuh belas agustus sudilah kiranya bapak untuk menghadirinya.” “Dengan senang hati aku akan ke sana besok agar aku bisa.menceritakan hal itu kepada ayahku nanti”.
Dia larut dalam ceritanya sendiri kemudian dia memandang jauh pada sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh itu ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar