PENDAHULUAN
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik
itu Hadis qauli, Hadis fi’li maupun Hadis taqriri. Sebagai sumber hukum Islam
yang kedua, Hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam Islam. Oleh sebab
itu Hadis tidak hanya menjadi sumber hukum Islam, tetapi juga menjadi sumber
ajaran bagi umat Islam yang menjadi pedoman ataupun acuan yang diperlukan di
dalam menjalankan tata kehidupan manusia pada umumnya dan khususnya bagi umat
Islam.
Kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam, tidak dapat dianggap
remeh ataupun dianggap tidak penting, karena begitu pentingnya, maka Hadis
harus dapat diseleksi dan diteliti kebenarannya. Penelitian Hadis dilakukan
untuk mengetahui akan kebenaran Hadis tersebut datangnya dari Nabi Muhammad
saw. atau bukan. Sehingga untuk menemukan kebenaran itu, para ulama Hadis
bekerja keras untuk menelitinya, sampai hipotesa ataupun anggapan sementara
yang sebelumnya dapat terungkap melalui penelitian. Dengan ditemukannya
kebenaran Hadis, maka Hadis dimaksud dapat dijadikan hujjah dalam pengambilan
hukum di dalam Islam.
Apabila suatu Hadis tidak dapat diterima kebenarannya, maka Hadis
tersebut tertolak atau tidak dapat diterima kehujjahannya. Kehujjahan Hadis
dapat diterima apabila syarat-syarat Hadis telah terpenuhi seluruhnya ataupun
Hadis tersebut diterima oleh banyak orang, dimana sekelompok orang itu tidak
mungkin bersepakat untuk berbohong. Tetapi ada juga Hadis yang hanya diterima
oleh hanya satu, dua, atau tiga orang saja dan orang-orang itu dapat membacakan
Hadis tersebut kepada beberapa orang juga, dan dapat memasyhurkannya di
kalangan tertentu saja. Untuk itu pemakalah akan membahas tentang permasalahan
pembagian Hadis berdasarkan kuantitas (jumlah perawinya) yaitu Hadis Mutawatir,
dan Hadis Ahad. Hadis mutawatir terbagi kepada dua macam, yaitu Mutawatir
Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi. Sedangkan Hadis ahad terbagi 3, yaitu Hadis
Masyhur, Hadis Azis dan Hadis Gharib. Bila ditinjau segi kuantitas
periwayatannya, maka Hadis dapat terbagi kepada dua macam, yaitu Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad.[1]
PEMBAHASAN
A. Hadis Mutawatir
Mutawatir secara harfiah adalah Tatabu’ yaitu berurut, sedangkan
secara istilah dalam Ilmu Hadis adalah berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak pada setiap tingkat mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan
mustahil (tidak mungkin) para periwayat yang jumlahnya banyak tersebut
bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.[2]
Apabila dilihat dari defenisi di atas, dapat dikatakan bahwa para
Sahabat yang menjadi rawi pertama suatu Hadis jumlahnya banyak, kemudian rawi
kedua pada tingkat Tabi’in juga banyak, dan pada tingkat Tabi’ Tabi’in yang
menjadi rawi ketiga juga tetap banyak jumlah periwayatnya, ataupun mungkin
bertambah banyak dari yang lebih dahulu menerima Hadis tersebut dari sumbernya.
Dengan jumlah periwayat Hadis yang banyak tersebut, menurut akal
manusia, tidak mungkin orang yang banyak berkumpul bersepakat untuk
bersama-sama membuat suatu kebohongan (dusta) untuk disampaikan kepada orang
lain.
Menurut istilah ulama Hadis, mutawatir adalah :
مَادَوَاهُ عَدَدٌ كَثِيْرٌ تُحِيْلُ اْلعَادَهُ تَوَاطَؤَ هُمْ
عَلَى اْلكَذِبِ
Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut
adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta.
Selanjutnya di dalam kitab Ikhtisar Mushthalahu Hadits karya Drs.
Fatchur Rahman, Hadis mutawatir didefenisikan sebagai berikut :
هُوَ خَبَرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَادٌ جَمٌّ يَجِبُ فِى
اْلعَادَةِ إِِحَالَةُ إِجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى اْلكَذِبِ.[3]
Suatu Hadis hasil tanggapan dari pancaindra, yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul
dan bersepakat dusta.
Melihat beberapa istilah dan defenisi di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa Hadis mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi yang banyak dan Hadis tersebut merupakan hasil dari tanggapan panca indera
(mata, mulut, hidung, telinga, kulit) para perawi yang jumlahnya banyak
tersebut bersepakat untuk membuat suatu kebohongan atau dusta kepada orang
lain. Karena menurut kebiasaan orang yang jumlahnya banyak, tidak mungkin
mengucapkan kata-kata (Hadis) dari sumbernya sama sekali yang tidak ada
bedanya.
Dengan melihat defenisi maupun kesimpulan tersebut di atas, maka
suatu Hadis dapat dikatakan sebagai Hadis mutawatir, apabila memenuhi
syarat-syarat (kriteria) sebagai berikut :
1. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi.[4] Menurut
sebagian ulama Hadis adalah sebanyak sepuluh orang. Namun ada juga yang
berpendapat sekurang-kurangnya adalah sebanyak empat orang dalam setiap
tingkatan generasi (tabaqat). Hal ini adalah yang telah dikemukakan oleh Abu
al-Thayyib yang diqiyaskan kepada banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk
memberi hukuman/ vonis kepada terdakwa. Ada juga ulama yang menentukan minimal
lima orang. Hal ini dikemukakan oleh Ashhabu ‘Asyafii, karena mengiyaskannya
dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi, ada juga yang menentukan
sekurang-kurangnya dua puluh orang, karena diqiyaskan kepada firman Allah surah
al-Anfal ayat 65, tentang sugesti (dorongan/ motivasi) Tuhan kepada orang-orang
mukmin yang sabar (tahan ujian) yang hanya berjumlah dua puluh orang mampu
mengalahkan orang kafir sejumlah dua ratus orang.
Firman Allah swt. : Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh...
Walaupun demikian ada pula ulama yang menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya empat puluh orang. Penentuan ataupun ketetapan jumlah rawi
tersebut sebenarnya adalah relatif, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah
terpenuhinya syarat yang nomor 3, yaitu mustahilnya mereka untuk bersepakat
melakukan kebohongan (dusta) atas berita yang mereka riwayatkan.
2. Jumlah perawi yang banyak tersebut harus ada atau tercapai
(mencukupi) pada setiap tabaqat (lapisan) atau tingkatan sanad.
3. Mustahil menurut ada bahwa mereka dapat sepakat untuk berbuat
dusta.[5]
4. Pewartaan (pemberitaan) atas berita yang mereka riwayatkan
tersebut harus didasarkan atas tanggapan panca indera, yakni Hadis yang mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri,[6]
bukan atas hasil pemikiran semata-mata dan ataupun hasil rangkuman dari suatu
peristiwa ke peristiwa yang lain.
Menurut akal pemikiran manusia dan perbedaan bahasa dan penggunaan
kata-kata, maka semua manusia berbeda dalam setiap penghafalan maupun daya
tanggap, begitu juga para perawi Hadis. Tidak semua Hadis yang didengar dari
Rasulullah saw. bulat-bulat semuanya dapat dihafal dan disampaikan. Untuk itu
para ulama Hadis membagi Hadis Mutawatir kepada dua bahagian, yaitu Mutawatir
Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi.[7]
1. Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis Mutawatir Lafzhi ialah Hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang susunan redaksinya dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang
satu dengan riwayat yang lainnya. Atau juga Hadis yang mutawatir riwayatnya
pada satu lafaz. ‘ajjaj Al-Khatib memilih defenisi yang berbunyi :
مَارَوَاهُ بِلَفْظِهِ جَمْعٌ عَنْ جَمِيْعٍ لاَ يُتَوَهُمْ
تَوَاطَؤُهُمْ عَلَى اْلكَذِبِ مِنْ أَوَّلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ.[8]
Hadis yang diriwayatkan dengan lafaznya oleh sejumlah perawi dari
sejumlah perawi yang lain yang tidak disangsikan bahwa mereka akan bersepakat
untuk berbuat dusta, dari awal sampai ke akhir sanadnya.
Contoh Hadis Mutawatir Lafzhi antara lain :
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ.[9]
Barang siapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka
berarti ia menyediakan tempatnya di neraka.
Menurut ulama, Hadis tersebut diriwayatkan lebih dari 70 orang
sahabat.
2. Hadis Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi ialah Hadis mutawatir yang rawi-rawinya
berlain-lainan dalam menyusun redaksi pemberitaan (Hadis), tetapi berita yang
berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat kesesuaian pada prinsipnya. Atau
juga Hadis yang mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya.[10]
Dengan istilah lain adalah :
هُوَ أَنْ تَنْقُلَ جَمَاعَةٌ يَسْتَحِيْلُ عَادَةً تَوَاطُئُهُمْ
عَلَى اْلكَذِبِ وَقَائِعَ مُخْتَلِفَةً إِشْتَرَكَتْ فِى أَمْرٍ يَتَوَاتَرُ
ذلِكَ اْلقَدْرُ اْلمُشْتَرَكُ.[11]
Dia adalah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan
mustahil bersepakat dusta atas kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada
titik persamaan.
Jadi Hadis mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir pada
makna saja, sedangkan redaksi pemberitaannya berbeda-beda antara satu periwayat
dengan periwayat yang lain. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa tujuan
pemberitaan itu memiliki pengertian yang sama, karena setiap individu memiliki
perbedaan di dalam menyampaikan pemberitaan yang diterimanya.
Contoh Hadis Mutawatir Ma’nawi adalah :
مَارَفَعَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حَتَّى رُؤِىَ
بَيَاضُ إِبْطَيْهِ فِى شَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى اْلإِسْتِسْقَاءِ.[12]
Konon Nabi Muhammad saw. tidak mengangkat kedua tangan beliau
dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat Istisqa’. Dan beliau mengangkat
tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan lafaz yang berbeda pula, namun maknanya sama yaitu berdoa
dengan mengangkat tangan, sebagaimana Hadis-Hadis yang ditakhrijkan oleh Imam
Ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud, yang berbunyi :
كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ.[13]
Konon Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak
beliau.
Hadis mutawatir mempunyai nilai ilmu dharuri, yakni keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh Hadis
mutawatir tersebut, sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[14]
Dengan adanya ilmu yang dharuri dari Hadis muatwatir, maka sebab itu wajiblah
bagi umat Islam untuk menerima dan mengamalkannya, sedangkan orang yang menolak
Hadis mutawatir dihukumkan kafir.[15] Karena seluruh Hadis mutawatir adalah
maqbul (diterima). Masalah tentang keadilan dan kedhabitan para rawi, tidak
perlu diselidiki lagi karena kuantitas para perawi Hadis tersebut sudah menjamin
dari kesepakatan berdusta.[16]
B. Hadis Ahad
Secara bahasa perkataan ahad sama dengan wahid yang artinya adalah
satu. Dengan demikian khabar ahad atau khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang.[17] Sedangkan yang dimaksud Hadis ahad secara
istilah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir, baik itu yang
diriwayatkan seorang perawi saja atau lebih. Banyak para ulama mendefenisikan
bahwa Hadis ahad adalah :
مَارَوَاهُ الوَاحِدُ أَوْ الإِثْنَانِ فَأَكْثَرَ مِمَّا لَمْ
تَتَوَافَرْ فِيْهِ شُرُوْطُ اْلمَشْهُوْرِ أَوْمُتَوَاتِرِ.[18]
Hadis yang diriwayatkan oleh satu dua orang atau lebih, yang
jumlahnya tidak memenuhi persyaratan Hadis Masyhur dan Hadis Mutawatir.
Berdasarkan defenisi di atas, maka dapat dipahami bahwa Hadis ahad
adalah Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi yang terdapat
pada Hadis mutawatir dan masyhur. Bagi kalangan ulama yang membagi Hadis kepada
tiga bahagian, yaitu Hadis mutawatir, Hadis masyhur dan Hadis ahad. Namun
banyak para ulama yang membagi Hadis yang berdasarkan kuantitas perawi hanya
kepada dua bahagian yaitu Hadis mutawatir dan Hadis ahad, sedangkan Hadis
masyhur termasuk ke dalam Hadis ahad.
Jadi Hadis ahad adalah Hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
jumlahnya dalam thabaqat (lapisan) pertama, kedua atau ketiga dan seterusnya
pada Hadis ahad itu, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua atau
seorang saja sehingga tidak mencukupi syarat untuk mencapai Hadis mutawatir.
1. Hadis Masyhur
Perkataan masyhur, secara bahasa adalah isim maf’ul dari syahara,
yang artinya nyata. Sedangkan pengertian Hadis masyhur menurut istilah Ilmu
Hadis adalah :
مَارَوَاهُ ثَلاَثَةٌ فَأَكْثَرُ - فِى كُلِّ طَبَقَةٍ – مَالَمْ
يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ.[19]
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada
setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat dipahami bahwa Hadis masyhur
adalah Hadis yang memiliki perawi sekurang-kurangnya tiga orang, dari jumlah
tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan sanad.
Menurut ulama Fiqh, Hadis masyhur itu adalah sama pengertiannya
dengan Al mustafidh, sedangkan ulama yang lain membedakannya, yakni suatu Hadis
dikatakan mustafidh bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit,
sejak dari thabaqat pertama sampai dengan thabaqat terakhir. Sedangkan Hadis
masyhur lebih umum dari Hadis mustafidh, yakni yang jumlah rawi-rawinya dalam
tiap-tiap tabaqat tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu,
dalam Hadis masyhur bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam tabaqat pertama
(sahabat), tabaqat kedua (tabi’in), tabaqat ketiga (tabi’ tabi’in) dan tingkat
keempat (orang-orang setelah tabi’ tabi’in) dari seorang saja, baru kemudian
jumlah rawi-rawinya dalam tabaqat kelima dan seterusnya banyak.
Hukum Hadis masyhur tidak ada hubungannya dengan sahih atau
tidaknya suatu Hadis, karena diantara Hadis masyhur terdapat Hadis yang
mempunyai status sahih, hasan dan dha’if, serta ada pula yang Mawdhu’ (palsu).
Apabila Hadis tersebut hukumnya lebih kuat dari Hadis azis dan gharib. Di
kalangan ulama Hanafiyah, Hadis azis dan gharib adalah zham, yaitu mendekati
yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena kedudukannya tidak
sampai kepada derajat mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang
menolak atau tidak mengamalkan Hadis tersebut.
Penggunaan perkataan masyhur yang dipakai pada suatu Hadis,
terkadang bukan memberikan sifat-sifat Hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya
rawi-rawi yang meriwayatkan Hadis, tetapi juga untuk memberikan sifat suatu
Hadis yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di
kalangan masyarakat ramai, sehingga dengan demikian ada suatu Hadis yang
rawi-rawinya kurang dari tiga orang, bahkan ada Hadis yang tidak berasal
(bersanad) sama sekalipun, dapat dikatakan Hadis masyhur,[20] karena terkenal
di kalangan tertentu.
Menurut istilah di atas,maka Hadis masyhur terbagi kepada :
- a. Masyhur di kalangan para
Muhaddisin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu, dan orang umum).
- b. Masyhur di kalangan ahli-ahli
ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli Hadis saja, atau
ahli fiqih saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, dan lain
sebagainya.
- c. Masyhur di kalangan orang-orang
umum saja.
Berikut ini adalah contoh-contoh Hadis yang terkenal ataupun
masyhur di kalangan tertentu, sebagaimana yang tercantum di atas, yaitu :
a. Hadis masyhur di kalangan Ulama Hadis dan lainnya
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ :
أَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البخارى
ومسلم)
Rasulullah saw. bersabda : “Seorang muslim itu ialah orang yang
menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas, selain dikenal di kalangan para ulama Hadis, tetapi
dikenal dan dimasyhurkan juga oleh para ulama tasawuf, ahli fiqih, dan bahkan
orang umum juga ikut memasyhurkannya.
b. Selanjutnya adalah contoh Hadis yang masyhur di kalangan
ahli-ahli ilmu tertentu, yakni :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ
شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوْعِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ. (رواه البخارى ومسلم)
Bahwasannya Rasulullah saw. berkunut selama satu bulan, setelah
rukuk, mendoakan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis masyhur di kalangan ahli fiqih (Fuqaha), yaitu seperti :
أَبْغَضُ اْلحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَلاَقُ. (رواه أبو داود وابن
ماجه)
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalak. (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqih, contohnya :
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِى اْلخَطَءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِ
هُوْا عَلَيْهِ. (رواه إبن ماجه)
Diangkat (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah (tidak
sengaja), lupa, dan perbuatan yang dilakukan karena keterpaksaan. (HR. Ibnu
Majah)
c. Hadis yang masyhur hanya di kalangan orang awam adalah seperti
contoh berikut ini :
أَلْعَجَلَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ. (رواه الترمذي)
Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR.Tirmizi)
2. Hadis Azis
Perkataan Azis berasal dari ‘azza - ya ‘izzu yang berarti qalla
dan nadara, yaitu sedikit dan jarang adanya. Atau juga dapat berasal dari ‘azza
- ya ‘izzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu kuat dan sangat.[21]
Sedangkan ‘Azis menurut istilah Ilmu Hadis, adalah :
مَاجَاءَ فِى طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ رُوَاتِهِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ
طَبَقَةٍ إِثْنَانِ.[22]
Hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tabaqat sanad.
Berdasarkan defenisi di atas, maka dapat dipahami bahwasannya
dalam setiap tingkatan sanad (tabaqat sanad) perawinya tidak boleh kurang dari
dua orang, namun boleh lebih dari dua orang yakni tiga atau empat orang atau
lebih dengan syarat pada salah satu tabaqat sanad harus ada yang perawinya
terdiri dari dua orang. Hal inilah yang membedakan antara Hadis azis dan Hadis
masyhur.
Berikut ini adalah contoh Hadis azis, yakni :
مَارَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَلَدِهِ.[23]
Hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, dari Hadis Abu Hurairah,
bahwa Rasul saw. bersabda : “Tidak beriman salah seorang kamu hingga aku lebih
dicintainya dari orang tuanya dan anaknya.” Sama seperti Hadis masyhur, status
kedudukan Hadis ‘azis ini juga terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu kepada
terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang berkaitan dengan
kualitas ketiga kategori tersebut secara umum.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, perkataan Gharib adalah shifat musyabahat yang
berarti al-munfarid atau al-ba’id ‘an aqaribih, yaitu yang menyendiri, atau
yang jauh dari kerabatnya,[24] atau bisa juga yang berarti asing atau aneh.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, berarti :
هُوَ مَايَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ.[25]
Yaitu Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya.
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan dan dipahami bahwasannya
Hadis gharib adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja, baik pada
setiap tingkatan tabaqat sanad maupun pada sebagian tingkatan sanad, dan bahkan
mungkin hanya pada satu tingkatan sanad, itulah sebabnya Hadis tersebut
dinamakan Hadis gharib.
Dilihat dari penyendirian perawi dalam meriwayatkan Hadis,
sebagaimana dimaksud di atas, maka Hadis gharib dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu gharib muthlaq dan gharib nisbi.[26]
Dapat dikategorikan sebagai gharib muthlaq apabila penyendirian
itu mengenai persoalannya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam
satu tabaqat. Penyendirian Hadis gharib muthlaq ini harus berpangkal di tempat
asal sanad, yakni tabi’in bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan
memperbincangkan penyendirian perawi dalam Hadis gharib di sini ialah untuk
menetapkan apakah periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Sedangkan
mengenai sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab secara umum dan diakui oleh
jumhur ulama ahli Hadis, bahwa sahabat-sahabat dianggap adil semuanya.
Penyendirian perawi dalam Hadis gharib dapat terjadi pada tabi’in
saja. Tabi’ tabi’in atau seluruh perawi pada tiap-tiap tabaqat. Contoh Hadis
gharib muthlaq adalah :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ. (أخرجه الشيخان)
Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hadis tentang niat tersebut di atas hanya diriwayatkan oleh ‘Umar
ibn al-Khaththab sendiri pada tingkat sahabat. Sedangkan Hadis gharib nisbi
adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari
seorang rawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini bisa terjadi berkaitan
dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota
tertentu.
Contoh Hadis gharib nisbi, adalah :
مَارَوَاهُ مَالِكٌ عَنِ الذُّهْرِيْ عَنْ أَنَسِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَى
رَأْسِهِ اْلمِغْفَرُ. (أخرجه الشيخان)
Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Al-Zuhri dari Anas r.a.
bahwasannya Nabi saw. memasuki kota Mekah dan di atas kepalanya terdapat
al-Mighfar (alat penutup/penutup kepala). (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedudukan Hadis gharib sebagai dasar hujjah sama seperti Hadis
Ahad yang lain, yakni dari segi kualitas ia juga terbagi ke dalam Hadis sahih,
hasan dan dha’if. Dengan demikian maka ditemukan adanya Hadis gharib yang
sahih, hasan dan dhaif.
DAFTAR PUSTAKA
- Bukhari, Shahih Al Bukhari .Beirut
: Dar al Fikr, 1401 H/1981 M. 8 juz : juz 1.
- Ismail, M. Syuhudi. Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang, 1988.
- Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul
al-Hadist. Beirut : Dar al-Fikr, 1409 H/ 1989 M.
- Rahman, Fatchur. Ikhtisar
Mushthalahul Hadits . Bandung : PT. Al Ma’arif, 1991.
- As-Shiddiqi, Hasbi. Pokok-pokok
Ilmu Dirasah Hadis. Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar