Minggu, 03 Agustus 2014

HADITS MAUDHU'


HADITS MAUDHU'
Maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang berarti mengada-ada atau membuat-buat. Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti mengada-adakan Hadis atau memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’ berarti Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mengerjakan, berbuat dan memutuskannya. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Hadis maudhu’ berarti kebohongan yang dibuat dan diciptakan serta disandarkan kepada Rasulullah saw.

A. Pendahuluan

Meski begitu besarnya fungsi dan kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran al-Karim, namun seperti dicatat dalam sejarah, ternyata penulisan dan kodifikasi Hadis secara resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu lamanya rentang antara waktu sejak meninggalnya Rasulullah saw. hingga waktu kodifikasi Hadis.

Dalam perjalanan sejarah Hadis, banyak muncul Hadis-Hadis palsu yang diterbitkan oleh beberapa golongan untuk tujuan tertentu baik politik seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah, atau ekonomi seperti pemalsuan hadis yang menyatakan bahwa melombakan merpati adalah seuatu hal yang disuruh Rasul, fanatisme terhadap sebuah ajaran atau golongan seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasul telah memberikan kepemimpinan kepada Ali. Makalah ini akan menguraikan tentang Hadis palsu dan beberapa kajian yang berkaitan dengannya

B. Pengertian Hadis Maudhu

Dari segi bahasa, maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang berarti mengada-ada atau membuat-buat.[1] Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti mengada-adakan Hadis atau memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’ berarti Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mengerjakan, berbuat dan memutuskannya.[2]

Dalam sumber lain dikatakan bahwa Hadis maudhu’ berarti kebohongan yang dibuat dan diciptakan serta disandarkan kepada Rasulullah saw.[3] Dari beberapa defenisi di atas dapat terlihat adanya beberapa kesamaan unsur tentang tanda adanya pemalsuan Hadis, yaitu:

1. adanya unsur kesengajaan.
2. ada unsur kebohongan atau ketidaksesuaian dengan fakta.
3. ada penisbahan kepada Rasulullah saw. berupa ucapan perbuatan atau pengakuan.

C. Sejarah dan Perkembangan Hadis Maudhu’.

Ada perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan Hadis. Di antara perbedaan itu ada yang berpendapat bahwa pada zaman Rasulullah saw. belum terjadi pemalusan Hadis. Pendapat ini diutarakan oleh Abdul Wahhab, namun meski demikian, ia juga tidak menolak adanya kemungkinan unsur pemalsuan terhadap Rasulullah saw. dan ajaran Islam yang dilatari berbagai faktor.[4]

Beberapa faktor yang turut melatari hal tersebut, menurut Abdul Wahhab, adalah adanya anggapan bahwa Rasulullah saw. tidak melarang bahkan memberi kesempatan bila dipandang dapat memberikan manfaat positif bagi kemajuan ummat Islam. Pemalsuan tersebut bisa berupa nasehat agama.

Faktor yang lain adalah adanya kecerobohan dalam meriwayatkan Hadis oleh perawi-perawi yang lemah sehingga timbul kesalahan dalam berbagai bentuk. Seperti riwayat yang sebenarnya bukan berasal dari Rasulullah saw., akan tetapi karena kesilapan, riwayat tersebut disandarkan kepada Rasulullah saw.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa pemalsuan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. pendapat ini seperti yang diajukan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin. Salahuddin al-adabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadis yang sifatnya melakukan kebohongan terhadap Rasulullah saw. dan berhubungan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. yang dilakukan oleh orang-orang munafiq. Sedangkan pemalsuan yang Hadis yang berkenaan dengan masalah agama belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw.

Alasan yang dikemukakan oleh al-Adabi adalah Hadis yang diriwayatkan oleh at-Thahawi (w. 321 H) dan at-Tabrani (w. 360 H). Riwayat itu menyatakan bahwa pada masa Rasulullah saw., adalah seseorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. orang tersebut mengaku telah diberi kuasa oleh Rasulullah saw. untuk menyelesaikan suatu masalah pada kelompok masyarakat tertentu di sekitar Madinah.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin, ia beralasan dengan adanya Hadis Rasulullah saw. yang bisa dimaknai dengan adanya kemungkinan terjadinya pembohongan di zaman Nabi. Hadis yang dimaksud adalah:
و من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.

Hadis ini meskipun dapat dimaknai sebagai bentuk peringatan agar tidak terjadi pembohongan atas nabi, tapi oleh Ahmad Amin, Hadis ini dimaknai telah ada pembohongan pada masa tersebut.[5]

Kedua pendapat tersebut di atas, nampaknya memerlukan pengujian, terutama dari segi historis yang dapat mendukungnya yang juga dapat mencari tahu siapa dan kapan terjadinya pembohongan tersebut. selain dari itu, dari segi matan riwayat yang dikemukakan oleh al-Adabi yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan sahabat beliau untuk membunuh orang yang telah berbohong dan apabila yang ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. memerintahkan jasad orang tersebut dibakar. Bukankah ini sesuatu yang tidak berguna dan bertentangan dengan ajaran Islam?.

Dari segi sanad Hadis yang dipakai oleh al-Adabi telah mendapat penilaian dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang telah mengatakan bahwa ada nama sahabat yang dinilainya tidak sahih. Selain dari itu, riwayat tersebut merupakan riwayat tambahan dari Hadis mutawatir yang dijadikan alasan oleh Ahmad Amin.[6]

Pendapat ketiga adalah pemalsuan menurut kebanyakan ulama. Ajjaj al-Khatib menegaskan bahwa pemalsuan tidak terjadi dari sahabat dan dari para tabi’in besar, dan kalaupun terjadi hanya muncul dari sebagian orang jahil dari kalangan tabiin.[7]

Muhammad bin Iraq al-Kinani[8] mengatakan bahwa pada masa pertengahan masa tabi’in yakni awal abad 11 H, terdapat kelompok yang lemah dan banyak sudah memarfu’kan yang mauquf dan meriwayatkan yang mursal. Pada masa tabi’in kecil (150 H), muncul kelompok-kelompok politik, unsur-unsur filsafat, keyakinan agama, fanatisme, kebohongan dan kesalahan.[9]

Kebanyakan ulama Hadis berpendapat bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pertamakalinya setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang kontra dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terpecahnya ummat Islam dan muncul golongan-golongan kelompok agama dan politik yang berbeda. Antar kelompok yang ada saling menguatkan kelompoknya dengan Alquran al-Karim dan sunnah. Tentu saja tidak setiap golongan menguatkan kelompoknya dengan menggunakan Alquran al-Karim dan sunnah, maka sebagian mencoba mentakwilkan Alquran al-Karim dan menafsirkan Hadis dengan cara yang tidak benar. Ketika sebuah ayat maupun Hadis tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuannya (karena banyaknya orang yang menghafal Alquran al-Karim dan sunnah) maka mereka mencoba berdalih dengan membuat-buat Hadis dan kebohongan atas Rasulullah saw. Maka muncullah Hadis-Hadis yang berkenaan dengan khalifah yang empat dan pemimpin masing-masing kelompok. Demikian juga halnya dengan aliran-aliran politik, agama dan lainnya.[10]

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting tentang berkembangnya pemalsuan Hadis:
  • pemalsuan yang dipandang terjadi pada masa Rasulullah saw. seperti yang dikatakan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin, tidak didukung dengan fakta yang kuat.
  • pada masa Rasulullah saw. dan sahabat terdapat pula periwayatan ajaran agama Islam sebagai nasehat yang dilakukan secara cermat yang dimaknai bukan sebagai pemalsuan.
  • pemalsuan muncul berawal dari kecerobohan oleh perawi-perawi yang lemah dengan cara:
a. memarfu’kan Hadis mauquf
b. menyambungkan Hadis mursal.

Hal ini terjadi pada pertengahan masa tabi’in yang berlanjut dengan kebohongan dalam mentakwilkan ayat dan Hadis hingga berujung kepada pemalsuan Hadis.

4. kebanyakan ulama mengindikasikan terjadinya pemalsuan setelah tahun 40 H yang dipicu oleh persoalan politik, filsafat dan faham keagamaan.

D. Faktor-Faktor yang Melatari Hadis Maudhu’

Beberapa faktor yang disebut oleh para ahli yang melatari munculnya Hadis maudhu’, di antaranya adalah:

1. politik

Setelah Utsman bin Affan wafat, timbul perpecahan di kalangan ummat Islam dengan lahir pendukung masing-masing kelompok yang berseteru, seperti kelompok pendukung Ali, pendukung Mu’awiyah dan kelompok ketiga yakni Khawarij yang muncul setelah terjadinya perang Shiffin.[11] Dari tiga kelompok tersebut, Syi’ahlah yang pertamakali melakukan pemalsuan. Hadis yang dibuat oleh kelompok Syi’ah adalah:

على خير البشر من شك فيه كفر
ali adalah orang terbaik, barang siapa yang meragukannya maka ia telah kafir.

Sedangkan Hadis yang dibuat oleh kelompok Mu’awiyah adalah:

ألا صفاء عند الله ثلاثة أنا و جبريل و معاوية

Ingatlah! Yang suci menurut Allah swt. hanya tiga, saya, Jibril dan Mu’awiyah.

Sementara kelompok Khawarij tidak membuat Hadis yang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa berbohong adalah dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir.[12]

2. Musuh Islam (Zindiq).

Di antara nama-nama orang-orang zindiq yang memalsukan Hadis adalah Muhammad ibnu Said al-Samiy. Dia meriwayatkan Hadis yang diakuinya berasal dari Humaid dari Anas dari Rasulullah saw. berbunyi:

أنا خاتم النبيين لا نبي بعدى إلا أن يشاء الله

Aku adalah penutup para nabi-nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah swt. menghendakinya.

Tokoh lainnya adalah Abdul Karim ibnu al-Auza’ yang telah memalsukan sebanyak 4000 Hadis yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Mereka memalsukan Hadis untuk tujuan mengkaburkan dan menghilangkan kemurnian agama dalam pandangan ahli fikir dan ilmu.

3. Fanatisme

Para pendukung bahasa Persia menciptakan Hadis yang menyatakan kemuliaan bahasa tersebut, seperti:

إن كلام الذى حول العرش فارسى
sesungguhnya permbicaraan di sekitar Arsy adalah menggunakan bahasa Persia.

Sementara kelompok yang menantangnya membuat Hadis yang lain seperti:

أبغض كلام عند الله فارسى

Pembicaraan yang paling dibenci oleh Allah swt. adalah bahasa Persia.

4. Membuat cerita.

Salah satu tujuan menyampaikan sesuatu melalui cerita adalah bagaimana agar menarik perhatian atau untuk memperindah hal-hal yang tidak semestinya indah agar pendengarnya merasa tertarik. Pemalsuan yang terkait dengan hal tersebut adalah:

من قال لا إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طير أنقاره من ذهب و ريشه من مرجان

Barang siapa mengatakan “tiada tuhan selain Allah, maka Allah akan menciptakan dari setiap kata-kata tersebut seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan.

5. Perbedaan pendapat.

Seperti:

كل من فى السماوات و الأرض و ما بينهما مخلوق غير القرأن

Setiap sesuatu yang ada di langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya adalah makhluk kecuali Alquran

6. semangat yang berlebihan untuk berbuat kebaikan yang tidak dilandasi permasalahan agama.

Ada anggapan di kalangan sebagian orang-orang shaleh dan para zahid bahwa untuk tujuan targhib dan tarhib maka pemalsuan dengan tujuan tersebut tidak masuk dalam kategori orang-orang yang dilaknat nabi dalam Hadis “barang siapa berbohong atasku dengan sengaja......”,

7. untuk mendekatkan diri kepada penguasa.

Ghayyas bin Ibrahim telah membuat kebohongan melalui Hadis ketika ia memasuki istana al-Mahdi. Pada saat itu ia melihat al-Mahdi sedang mengadu burung merpati, maka ia mengucapkan memalsukan sebuah Hadis dengan menambahi matannya.

Selain dari hal-hal tersebut di atas, masih ada beberapa sebab lain yang mendorong munculnya pemalsuan, seperti demi memuji sebuah usaha atau pekerjaan tertentu.


E. Ciri-Ciri Hadis Maudhu’

a. Ciri-Ciri Pada Sanad.

1. berdasarkan pengakuan dari orang yang memalsukan Hadis.

Terdapat beberapa nama pemalsu Hadis yang mengakui perbuatannya, di antaranya adalah Abu Isma Nuh ibnu Abi Maryam tentang keutamaan surat-surat Alquran al-Karim. Abu Karim al-Auza’ yang memalsukan Hadis halal-haram.[13] Begitu juga dengan Abu Yazis yang mengaku telah memalsukan Hadis dan menyatakan bertobat dan minta ampun.[14]

2. tanda-tanda yang bermakna pengakuan.

Misalnya seorang rawi yang mengaku menerima Hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia mengatakan menerima Hadis dari seorang guru, padahal guru tersebut telah meninggal dunia sebelum ia lahir, seperti Ma’mun Ibnu Ahmad al-Saramiy yang mengatakan kepada Ibnu Hibban bahwa ia pernah mendengar Hadis dari Hisyam dan Hammar, Ibnu Hibbanpun bertanya kapan ia ke Syam,yang dijawab oleh Ma’mun Ibnu Ahmad al-Sarami bahwa ia ke Syam pada tahun 250 H. , padahal Hisyam meninggal dunia pada tahun 254 H.

3. terkesan dibuat-buat berdasarkan kejadiannya.

b. Ciri-Ciri Pada Matan.

Menelusuri pemalsuan Hadis secara akurat melalui matannya dapat dilakukan dengan menganalisa matan tersebut. Unsur-unsur yang sering terdapat pada matan Hadis maudhu’ adalah:

1. kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya.
2. kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera.
3. mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat.
4. terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut.
5. hal-hal atau berita yang tidak masuk akal.
6. bertentangan dengan nash Alquran al-Karim.
7. bertentangan dengan Hadis mutawatir.


E. Penutup

Hadis maudhu’ adalah Hadis yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah saw. ada beberapa faktor, sebab dan tujuan yang mendorong seseorang memalsukan Hadis, seperti:

1. untuk tujuan politik
2. fanatisme
3. ekonomi
4. dan sebagainya

Ada beberapa cara untuk mengetahui apakah sebuah Hadis palsu atau tidak, baik dengan melihat ciri-ciri pada sanad ataupun matan. Adapun ciri-ciri pada sanad adalah:

1. adanya pengakuan seorang rawi bahwa ia memalsukan Hadis.
2. terdapat hal-hal yang menjukkan bahwa seorang rawi memalsukan Hadis.
3. terkesan dibuat-buat.

Sedangkan ciri-ciri pada matan adalah:

1. kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya.
2. kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera.
3. mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat.
4. terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut.
5. hal-hal atau berita yang tidak masuk akal.
6. bertentangan dengan nash Alquran al-Karim atau Hadis mutawatir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar